Monday, August 16, 2010

Panggung Sandiwara dari Mataram



Kamis, 24 Agustus 2006 | 11:49 WIB

TEMPO Interaktif, Mataram:Sebuah kursi terbungkus kertas koran menghadap empat bingkai kayu segi empat besar yang digantung di langit-langit. Di sekitar lantai terdapat hamparan pasir lembut. Di bagian tepi pasir teronggok tengkorak putih. Ada pula tiga baskom kecil berisi sepotong muka yang terendam air dan kembang. Di atas benda itu tergantung tabung kain putih.

Sementara itu, di dinding terlihat tiga wajah manusia berderet dari kanan ke kiri sehingga menampakkan terjadinya evolusi. Sedangkan pada kiri dan kanan dinding ruang tersebut, terpasang 20 lembar foto adegan berbagai pentas teater, musik, dan wayang. Seorang manusia berpakaian mumi tampak bergerak ke sana-kemari.

Itulah Dua Rupa Visual Art Exhibition yang digelar oleh dua pegiat seni Mataram, Arief Firmansah Sahidu dan Ismiadi, sejak Minggu petang lalu hingga Kamis depan, selama 10 hari. "Untuk ajang silaturahmi antarbidang seni," kata Arief, 30 tahun, yang menyajikan foto dokumentasi pentas seni di Mataram selama setahun terakhir.

Pajangan foto dan seni instalasi itu, kata pegiat seni di Mataram, Paox Iben, sama-sama merupakan perlambang panggung kehidupan. Lembaran foto yang tampak hanya hitam dan merah kecokelatan itu merupakan tampilan mikro. Adapun karya instalasi tersebut menjadi bagian dari wujud makro panggung yang fana itu. "Dunia ini panggung sandiwara. Ceritanya mudah berubah," kata Paox Iben dalam lembaran naskah pengantar pameran ini.

Arief Firmansah Sahidu dan Ismiadi, yang tengah menggelar karya mereka, adalah pegiat Teater Kamar Indonesia. Arief adalah bekas mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Mataram, yang memilih berkesenian dan tak melanjutkan kuliahnya. Sedangkan Ismiadi, 37 tahun, tamatan seni rupa Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Denpasar.

Mungkin ini pertama kalinya, setidaknya di Mataram, dilangsungkan pameran foto khusus hasil bidikan acara dari panggung pentas seni. Ada gambar sepotong adegan berupa bagian atas manusia terbalik masuk ke tong dari pentas teater Caligula karya Albert Camus oleh Teater Kamar Indonesia. Lantas ada seseorang yang duduk di atas drum minyak dalam pentas monolog Black Box oleh Teater Prung Bandung. Tidak hanya itu, penampilan Folkontemporia Ary Juliant & Folk serta pentas tari kontemporer Lombok Culture Open pun terekam dengan indah.

Mengutip filosof Prancis, Roland Barthes, dalam Camera Lucia, Paox Iben menyebut fotografi adalah sebentuk nekrokulturalisme, memuja budaya kematian. Pasalnya, fotografi berbicara masa yang lampau dan memenjarakannya dalam bingkai makna yang telah tereduksi sedemikian rupa menurut alur fotografer. Ia seperti dipaksa atau tertuntut untuk mengabaikan sekian fakta dan terpaku hanya pada momentum sepersekian detik yang diciptakan melalui moncong kamera.

Seorang sutradara senior lokal Mataram, Kongso Sukoco, yang didaulat menjadi orator kesenian sebelum pembukaan, sempat mengajak para pegiat seni terus memberikan sumbangsih kreativitasnya. Menurut dia, pemerintah sudah sepantasnya menyediakan biaya dalam jumlah besar untuk segala kegiatan berkesenian. "Taman Budaya ini sangat luas. Suatu kemewahan kalau tidak ada apa-apanya di sini," katanya.

SUPRIYANTHO KHAFID

http://www.tempointeraktif.com/hg/budaya/2006/08/24/brk,20060824-82501,id.html

No comments: